Senin, 24 Oktober 2011

Ranjang Pengantin Nenek


Ranjang Pengantin Nenek
(Pemenang Penghargaan Sayembara Mengarang Cerpen Femina – 2009
 Femina No.3/XXXVIII/2010)
Cerpen Hartari

          Ranjang pengantin milik Nenek layaknya benda keramat. Benda itu diwariskan turun temurun. Bude Windu yang pertama kali memakainya setelah Nenek, sampai Lila lahir. Kemudian Mamaku mendapat giliran berikutnya saat beliau menikah dengan Ayah. Karena hanya mereka berdua anaknya, maka dipastikan bahwa giliran selanjutnya akan jatuh pada cucu perempuan Nenek, jika kelak menikah, dan mungkin saja bila ranjang itu masih kuat, maka bisa jadi sampai keturunan kesekian.
            “Ini perintah Nenek, tidak boleh dibantah.” jawab Mama ketika kutanyakan alasan mengapa harus ranjang pengantin Nenek yang dipakai untuk mengawali kehidupan berumah tangga, “Agar kehidupan rumah tanggamu rukun, tentram, tidak ada pertengkaran, seperti kakek-nenekmu,” lanjutnya
            Tidak ada yang istimewa dari ranjang itu. Kuno tepatnya. Tetapi, bahannya kuat, entah sudah berapa umurnya, mungkin sama dengan umur perkawinan Nenek dan Kakek atau jauh lebih tua. Saat hendak dipakai Bude, ranjang itu dikarantina selama sebulan. Tak boleh ditiduri siapapun. Demikian juga saat mamaku hendak memulai hidup berumah tangga, ranjang itu tak boleh dipakai hampir sebulan, Kata Mama,”Sedang direnovasi.” Setelah itu, tidak ada larangan. “Karantina ranjang hanya berlaku jika hendak dipakai calon pengantin.” Begitu kira-kira penjelasan Mama.
Ranjang tua itu beberapa kali berganti cat agar selalu tampak baru. Berkali-kali ganti kelambu dan…… pernah sekali dilas, karena lempeng besi penyangganya patah.
            Patah ? Aneh benar kata-kata itu. Ranjang pengantin Nenek terlalu kuat untuk rusak, meskipun ukurannya kecil dan termakan usia. Bahkan masih kuat menahan berat beban saat kami berempat – Bude dengan Mbak Lila, sepupuku, serta Mama dan aku  –       saat berbagi cerita di atas ranjang tua itu. Jarang sekali kesempatan itu ada karena jarak dan waktu tak pernah kompromi dengan rindu.
 Menahan empat orang yang tidur berdesakan saja, ranjang itu terlalu kekar, mengapa tiba-tiba lempeng besi itu putus ketika menahan beban seorang Lila, sepupuku. Tubuh Lila kecil, tak sampai 45 kg.
            Nenek kaget begitu mendengar ranjang pengantinnya rusak. Kemarahan itu tak bisa dibendung. Selama ini, selama dipakai Nenek, Bude, dan Mama tak pernah  ada kerusakan sedikitpun dan ini adalah kali pertama terjadi.
            Sidang digelar. Tak ada prolog, Bude Windu langsung dicecar dengan sekian pertanyaan. Bude tak bisa menjawab karena bukan beliau yang menempatinya saat kejadian itu.
            Pandangan Nenek beralih pada Lila. Sepupuku itu tak berani mendongak. Jelas dia pelakunya.
            “Lila !” suara Nenek kasar, kemarahannya tak tertahan.
            Lila memandang Nenek sebentar, lalu menunduk. Kami, yang hari itu khusus diundang di persidangan tak resmi ini telah menduga, Lila yang menyebabkan lempeng besi penahan ranjang itu patah.
            “Saya tidak merusaknya,” jawabnya, pelan.
            “Kerempeng memang tak bisa memutuskan lempeng itu,” bentak Nenek.
            “Tapi memang bukan saya yang merusaknya.”
            Ah..badan Lila kecil, Bahkan jika  dia berlonjak-lonjak diatasnya pun, ranjang itu hanya bergoyang sebentar.
            Semua diam. Ternyata hal ini bukan masalah kecil bagi Nenek, bahkan terlalu besar untuk orang kuno dan konservatif seperti beliau. Ini adalah sebuah kehormatan yang tak bisa terganti oleh apa pun. Pandangan beliau tak bergeser dari tubuh Lila, seperti siap menguliti kesalahan cucu pertamanya. Kami ciut dihadapan wibawa Nenek.
Tiba-tiba Nenek beranjak dari tempat duduknya, menarik lengan kurus Lila dan…astaga…menggebuk perut Lila tak berampun. Lila pingsan, darah segar mengalir di kakinya. Kami gemetar, tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sungguh Nenek sangat kejam, menghakimi sendiri cucu pertamanya tanpa mendengar penjelasan rinci.
            Untuk beberapa lama ranjang itu tak dipakai. Selembar seprai, dua bantal dan dua guling adalah para penghuni tetapnya. Sementara Lila shock kehilangan janinnya. Janin? Yah… setelah peristiwa itu, baru kami tahu bahwa Lila hamil di luar nikah. Dan tragisnya, tindakan itu dilakukan bukan di hotel atau di tempat ‘aman’ lain tapi… diatas ranjang pengantin Nenek !
**
Nenek memang kolot. Sampai peristwa yang dialami Lila membuat Nenek semakin tak kompromi dengan lelaki yang menjadi pacar cucunya. Semua diatur. Apel diatur, duduk diatur, keluar rumah diatur  dan aku harus rela menerima aturan itu, karena tinggal aku cucu perempuan yang dipercayainya setelah Lila mengkhianati Nenek.
            Lima tahun sudah sejak peristiwa itu, dan setelah lempeng besi itu diperbaiki, praktis hanya Nenek yang menidurinya. Usai peristiwa Lila, Nenek langsung mengambil benda antik miliknya. Kesucian ranjang itu pernah ternoda dan dia tak ingin itu terjadi padaku, cucu yang akan memakainya kelak.
            “Hati-hati,” nasehat Mama saat aku mulai berpacaran dengan Mas Tomi.
            Nasehat Mama, peristiwa Lila dan ranjang pengantin Nenek selalu membayang. Aku tak ingin itu terjadi padaku. Ranjang itu terlalu jujur untuk sebuah tindakan ceroboh. Bisa saja aku melakukan perbuatan melanggar norma itu di tempat lain, tapi ranjang itu adalah sebuah indikasi kejujuran, indikasi kesucian si pemakai. Aku tak mau. Aku tak akan mengawali ikatan suci dengan perbuatan kotor, meski atas nama cinta. Tak akan pernah.
            “Mama tak tahu apa yang kau perbuat diluar sana, tapi…kau tahu sendiri apa yang pernah terjadi pada Lila,” lanjut Mama.
            Dan syukurlah aku bisa memegang amanah itu. Segalanya berjalan sesuai dengan keinginan semua orang. Keinginanku, keluargaku, keluarga Mas Tomi, dan terutama Nenek. Aku berhasil menjaga kesucianku sampai kuntum itu dipetik oleh Mas Tomi usai akad nikah.
            Beberapa hari usai peristiwa sakral dalam hidupku, kulihat Nenek masuk ke kamarku. Dilihatnya setiap detail ranjang pengantin miliknya. Tak ada kerusakan, beliau tersenyum puas. Bukan masalah kerusakan yang dikhawatirkannya, tapi moral cucunya yang selalu dipikirkannya.
            “Zaman edan, kamu jangan ikut edan, “ katanya suatu hari, “Wanita itu selalu dipandang dari kesuciannya. Dia harus memelihara kesuciannya sampai kapanpun. Sehebat apapun kalau sudah tidak suci berarti moralnya telah rusak !”
**
            Kini benda keramat itu masih berdiri kaku di ruang tidur kami. Aku hanya mampu tidur di atas kasur empuknya semalam. Sejujurnya, rasa khawatir selalu merasukiku. Sejak peristiwa Lila memang aku tak berani menjamah bahkan sekedar mendekat, kalau bukan suatu keharusan tidur di ranjang itu di malam pertama, seperti yang dilakukan Nenek pada Bude dan mamaku.  Mita yang lahir dari rahimku tak pernah kutidurkan di atasnya. Rasa tak nyaman makin menyesaki. Rasa yang sebenarnya tak perlu untuk dibesar-besarkan. Dan rasa itu semakin gemuruh. Aku akan mengembalikannya pada Nenek, dan aku akan merasa bebas.
Ranjang itu tetap berdiri dengan sombong. Dia seperti kertas lakmus yang mengindikasikan asam dan basa meski dengan indra telanjang. Tak perlu rinci panjang untuk mengatakan sebuah kejujuran. Dan kini aku berada di ujung ketakutan…
            “Tidak perlu dikembalikan, Mita yang akan memakainya nanti,” kata Nenek saat kujelaskan keinginanku mengembalikan ranjang suci itu.
            “Masih lama, kukembalikan dulu. Kalau Mita mau nikah, baru saya ambil.”
            “Biarlah di rumahmu. Kalau kau tak mau memakainya tak mengapa, tidak akan rusak meski tidak dipakai. Seprainya saja yang diganti, biar tampak bersih.”
            Habis kata. Jelas-jelas Nenek telah mewariskannya untuk Mita dan tak ingin untuk dikembalikan, sampai ranjang itu benar-benar rusak termakan usia.
***
            Kupandangi    sebuah benda yang amat diagungkan Nenek. Kuamati tiap incinya. Tak ada secuilpun jimat yang menempel. Tulisan-tulisan asing juga tak ada, tapi mengapa ranjang itu seolah bisa berkata-kata ? Rasa rindu tiba-tiba menyelimutiku. Aku rindu tidur di atas kasur empuknya seperti dua tahun lalu ketika aku secara resmi tidur bersanding dengan suamiku. Menyulam mimpi indah bersamanya, meski hanya semalam.
            Pelan…kutarik selimut, merebahkan tubuhku dan tubuh Mita, anakku. di atas kenyamanan yang tiba-tiba saja kurindukan.
Kami terlelap ….
**
            Jantungku berdegup kencang, Mita tiba-tiba meronta, menangis sejadi-jadinya. Mas Tomi masuk  dan berusaha menenangkan Mita, Nenek yang semalam baru saja datang dari desa dan menginap di rumahku urung menuntaskan kantuknya mendengar jerit Mita. Sementara aku tak bergerak, terpaku di atas ranjang Nenek.
            Bunyi lempeng patah….. satu, dua, tiga,…satu persatu lempeng penyangga patah tak kuasa menahan beban tubuhku yang berada di atasnya. Kelambu putih yang membungkus keanggunan ranjang suci itu luruh. Nenek terpaku di balik pintu. Mas Tomi tak berkedip. Tubuhku rubuh bersama kesucian ranjang pengantin Nenek.
            Kini aku seperti pesakitan di depan hakim yang tak lain nenekku sendiri. Di ujung sana dua orang saksi, Mas Tomi dan si kecil Mita, membisu. Tak perlu banyak tanya. Aku mengakui semuanya tanpa didakwa. Aku telah berkhianat. Dan Mita adalah buah pengkhianatanku, ketika Mas Tomi bertugas ke luar kota untuk beberapa lama. Meski bukan di atas ranjang Nenek, tapi ranjang pengantin Nenek telah mencium aroma pengkhiatan…!
           
***

1 komentar:

  1. Harrah's Ak-Chin Casino Hotel - JTHub
    Visit Harrah's Ak-Chin Casino Hotel - An 청주 출장샵 enterprise of the Eastern 익산 출장안마 Band of the Luiseno Indians. 전주 출장샵 JT Hub has 서울특별 출장샵 been providing services to Indian 군포 출장안마 hospitality

    BalasHapus