Kamis, 27 Oktober 2011

Laila, Gadis Kecil dalam Mimpiku

Laila, Gadis Kecil dalam Mimpiku
(Teen Edisi 129/th XV/September 2008)
Cerpen : Qotrunnadia KR


Sudah dua malam ini aku selalu memimpikan seorang gadis kecil.  Kuberi nama Laila, karena dia hadir di malam-malamku, meski dalam mimpi.  Perawakannya kecil, hitam, rambutnya merah.  Dia selalu menggigit tas plastik di mulutnya, hingga air liurnya menetes.
Di malam yang pertama Laila hadir di mimpiku, aku anggap biasa.  Seperti bunga dalam tidur.  Laila memakai baju kumuh, melambaikan tangan padaku, sambil bersandar di depan pintu masjid. Dia hanya diam, aku pun tidak berbuat apa-apa.  Saat itu kami saling berpandangan.
Malam kedua Laila muncul lagi. Masih menggigit tas plastik hitam, masih menetes liurnya, tapi kali ini tangannya meminta sesuatu padaku. Waktu itu aku duduk di pelataran masjid sambil membagi ta’jil, dan hanya memandangi Laila dari tempat itu.
Aku heran mengapa dua malam itu aku bermimpi tentang Laila? Siapa dia? Mengapa aku selalu memimpikannya. Aku pun bertekad jika malam ini dia hadir dalam mimpiku, maka benar-benar akan kucari dia. Di pintu masjid, tepat di hari pertama kau memimpikannya.
Malam telah larut. Mama sudah bersiap tidur setelah menyiapkan segala sesuatu untuk sahur nanti.  Rasanya aku pingin banget bertanya pada mama tentang Laila yang ada dalam mimpiku. Siapa tahu mama pernah juga bermimpi tentang seseorang yang belum pernah dikenal. Apakah dia benar-benar ada, atau hanya bunga tidur yang akan hilang begitu saja.
Malam makin larut, rasa kantuk belum juga menghampiriku. Mungkin aku terlalu ingin bertemu dengan Laila sehingga mataku belum juga terlelap. Apa yang akan kutanyakan pada Laila? Akankah dia hadir lagi dalam mimpiku? Lalu apalagi? Ah,…
Gadis kecil itu duduk di serambi maasjid, menggigit ujung tas plastik yang sudah berbau, masih menetes air liurnya, meminta tolong padaku. Lama…sekali. Sampai aku menghampirinya. Tiba-tiba buk…buk…buk…tangan kecil itu memukul perut gendutku. Keras sekali. Sampai aku berteriak minta tolong. Hantamannya makin keras, sampai sebuah tangan lembut menarik tanganku.
“Aya, bangun. Sahur…sahur…” bisik Mama.
“Ha…eh..he..eh.” Kuusap kedua mataku. “Astaghfirullah,” kulihat lagi perutku. Untunglah tidak ada luka, batinku.
“Mimpi apa sampai teriak-teriak keras gitu ?” Mama beranjak menuju kamar Ita, membangunkan kedua adik kembarku, Ita dan Inu.
“Anu, Ma, mimpi digebukin anak kecil. Keras banget. Sakitnya bukan main,” jelasku.
“Makanya berdoa dulu sebelum tidur. Biar mimpi bagus. Lagian kamu kekenyangan, sih. Makanya perutnya sakit digebukin,” ledek Mama sambil mengelus perutku yang gendut. “Puasa bukannya kurus, tapi malah tambah gendut.” Lanjutnya.
Hi…hi…tawa adik kembarku, tampaknya mereka berdua setuju dengan Mama.
Tapi aku bertekad bisa menemukan Laila, kemudian akan kulampiaskan dendamku padanya, akan kupukul dia sekeras-kerasnya, lalu…ah tidak…tidak…nanti dau hadir lagi di mimpiku dan tiba-tiba mau membunuhku? Hi…
*
“Aya, hari ini kita piket ta’jil, kan?” tanya Mei.
            “Berdua saja, Mei? Enggak  ada yang lain?” tanyaku.
            “Putut enggak bisa datang, ada acara buka puasa di sekolah. Panji juga tidak bisa datang, sakit kata mamanya. Nanti kita minta bantuan Pak Tukiman untuk membagi ta’jil,” ujar Mei.
            Pukul setengah lima sore. Aku dan Mei sudah sibuk menyiapkan ta’jil. Masjid kampungku selalu penuh orang yang akan buka puasa bersama. Aku dan Mei mulai membagi makanan. Lumayan, hari ini ada yang memberi nasi bungkus. Berarti tidak hanya makanan ringan, tapi mereka yang berbuka puasa juga akan mendapat nasi bungkus.
            Semua telah duduk rapi di tempatnya masing-masing, sambil mendengarkan kultum dari pengurus masjid. Mei masih mondar-mandir menyiapkan teh hangat. Sementara aku terus saja mengarahkan pandanganku di pintu masjid. Siapa tahu Laila, gadis kecil itu datang.
            Adzan Maghrib berkumandang. Setelah berdoa, semua lahap menyantap ta’jil. Aku masih saja memandang pintu masjid sambil menyeruput teh hangat.
            “Laila!” teriakku saat melihat gadis yang ada dalam mimpiku itu tiba-tiba muncul dari balik gerbang masjid. Untung orang-orang sedang menikmati hidangan sehingga tidak memperhatikanku.
            “Laila? Kamu Laila, kan?” tanyaku mendekati gadis itu. Kuambil jarak agar aku bisa lari kalau-kalau dia memukulku seperti mimpiku semalam.
            “Sudah buka puasa?” Gadis kecil itu menggeleng. Segera ku beranjak hendak mengambil air, tiba-tiba tangan kecilnya menarik tanganku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Dia menarik tanganku sambil berlari. Aku hanya mengikutinya. Dia semakin kencang, aku terengah-engah, berputar-putar mengelilingi masjid.
            “Tunggu!” Aku tidak kuat lari lagi, Laila,” teriakku. 
            Sampai di suatu gubuk karton, Laila berhenti.
            “Bagaimana kakak bisa makan sampai kekenyangan, sementara di sini aku sangat kelaparan?” suaranya lirih.
            Aku menghela nafas. Ya..bagaimana bisa terjadi? Tanyaku dalam hati. Bukankah di sekitar masjid ini masih banyak orang yang kelaparan, tapi aku tidak pernah mengindahkannya?
            Laila membawaku masuk ke dalam. Aku harus menunduk masuk gubuk karton itu. Di dalam ada seorang anak kecil dan seorang nenek meringkuk memegangi perutnya. Mengapa aku tidak pernah pedulikan mereka. Tangan-tangan mereka mulai mendekatiku, menengadah, meminta. Makin dekat, semakin dekat….aku berteriak. Sebuah tamparan halus mendarat di pipiku.
            “Aya, kamu kebanyakan tidur. Mimpi seram ya? sampai teriak-teriak. Bangun dong,, jangan lemas, Duh masih sore sudah tidur. Ta’jil sudah datang tuh, tolong siapin piring dan gelas,” ujar Mei.
            “Mei, nanti aku siapin. Pokoknya beres. Tapi aku mau jalan-jalan dulu, ya, biar enggak  ngantuk,” ujarku.
            “Jangan pulang loh, enggak ada yang bantu nih,” ujar Mei.
            Aku mengangguk. Segera kukelilingi daerah sekitar masjid. Aku memang penduduk baru di sini sehingga belum begitu mengenal tetangga sekitar.
            Tiba-tiba wajah Laila tampak dari kejauhan. Kucubit tanganku, siapa tahu ini mimpi, seperti yang baru saja kualami. Sakit. Berarti bukan mimpi. Buru-buru kuhampiri dia. Kugandeng tangan kecilnya.
            “Kamu Laila?” Dia mengangguk.
            “Kamu tinggal bersama nenek dan adikmu, kan?” Dia lagi-lagi mengangguk.
            “Tunggu di sini,” Aku segera kembali ke masjid, mengambil ta’jil yang telah disiapkan Mei.
            “Mei, minta 3 bungkus, Darurat, nih,” kataku.
            “Cepat balik!” teriaknya.
            Laila masih menunggu. Kuhampiri dia. Dia menunjuk gang kecil di belakang masjid. Kuikuti langkahnya sampai di suatu tempat, persis seperti mimpiku. Ah, benar, ada dua orang yang nampak kelaparan di sana. Aku menangis, mengapa aku tidak pernah melihatnya? Wajah mereka berbinar melihat nasi bungkus yang ada dihadapannya. Laila tersenyum padaku.
            “Terima kasih,” suaranya lirih.
            Suara adzan maghrib berkumandang. Mereka menyantap nasi dengan lahap. Aku segera beranjak, teringat janjiku pada Mei.
            Ah, Laila. Ternyata kau memang hadir dalam mimpiku untuk menyadarkanku, karena masih banyak Laila Laila lain yang tidak kupedulikan.
***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar