Kamis, 27 Oktober 2011

Laila, Gadis Kecil dalam Mimpiku

Laila, Gadis Kecil dalam Mimpiku
(Teen Edisi 129/th XV/September 2008)
Cerpen : Qotrunnadia KR


Sudah dua malam ini aku selalu memimpikan seorang gadis kecil.  Kuberi nama Laila, karena dia hadir di malam-malamku, meski dalam mimpi.  Perawakannya kecil, hitam, rambutnya merah.  Dia selalu menggigit tas plastik di mulutnya, hingga air liurnya menetes.
Di malam yang pertama Laila hadir di mimpiku, aku anggap biasa.  Seperti bunga dalam tidur.  Laila memakai baju kumuh, melambaikan tangan padaku, sambil bersandar di depan pintu masjid. Dia hanya diam, aku pun tidak berbuat apa-apa.  Saat itu kami saling berpandangan.
Malam kedua Laila muncul lagi. Masih menggigit tas plastik hitam, masih menetes liurnya, tapi kali ini tangannya meminta sesuatu padaku. Waktu itu aku duduk di pelataran masjid sambil membagi ta’jil, dan hanya memandangi Laila dari tempat itu.
Aku heran mengapa dua malam itu aku bermimpi tentang Laila? Siapa dia? Mengapa aku selalu memimpikannya. Aku pun bertekad jika malam ini dia hadir dalam mimpiku, maka benar-benar akan kucari dia. Di pintu masjid, tepat di hari pertama kau memimpikannya.
Malam telah larut. Mama sudah bersiap tidur setelah menyiapkan segala sesuatu untuk sahur nanti.  Rasanya aku pingin banget bertanya pada mama tentang Laila yang ada dalam mimpiku. Siapa tahu mama pernah juga bermimpi tentang seseorang yang belum pernah dikenal. Apakah dia benar-benar ada, atau hanya bunga tidur yang akan hilang begitu saja.
Malam makin larut, rasa kantuk belum juga menghampiriku. Mungkin aku terlalu ingin bertemu dengan Laila sehingga mataku belum juga terlelap. Apa yang akan kutanyakan pada Laila? Akankah dia hadir lagi dalam mimpiku? Lalu apalagi? Ah,…
Gadis kecil itu duduk di serambi maasjid, menggigit ujung tas plastik yang sudah berbau, masih menetes air liurnya, meminta tolong padaku. Lama…sekali. Sampai aku menghampirinya. Tiba-tiba buk…buk…buk…tangan kecil itu memukul perut gendutku. Keras sekali. Sampai aku berteriak minta tolong. Hantamannya makin keras, sampai sebuah tangan lembut menarik tanganku.
“Aya, bangun. Sahur…sahur…” bisik Mama.
“Ha…eh..he..eh.” Kuusap kedua mataku. “Astaghfirullah,” kulihat lagi perutku. Untunglah tidak ada luka, batinku.
“Mimpi apa sampai teriak-teriak keras gitu ?” Mama beranjak menuju kamar Ita, membangunkan kedua adik kembarku, Ita dan Inu.
“Anu, Ma, mimpi digebukin anak kecil. Keras banget. Sakitnya bukan main,” jelasku.
“Makanya berdoa dulu sebelum tidur. Biar mimpi bagus. Lagian kamu kekenyangan, sih. Makanya perutnya sakit digebukin,” ledek Mama sambil mengelus perutku yang gendut. “Puasa bukannya kurus, tapi malah tambah gendut.” Lanjutnya.
Hi…hi…tawa adik kembarku, tampaknya mereka berdua setuju dengan Mama.
Tapi aku bertekad bisa menemukan Laila, kemudian akan kulampiaskan dendamku padanya, akan kupukul dia sekeras-kerasnya, lalu…ah tidak…tidak…nanti dau hadir lagi di mimpiku dan tiba-tiba mau membunuhku? Hi…
*
“Aya, hari ini kita piket ta’jil, kan?” tanya Mei.
            “Berdua saja, Mei? Enggak  ada yang lain?” tanyaku.
            “Putut enggak bisa datang, ada acara buka puasa di sekolah. Panji juga tidak bisa datang, sakit kata mamanya. Nanti kita minta bantuan Pak Tukiman untuk membagi ta’jil,” ujar Mei.
            Pukul setengah lima sore. Aku dan Mei sudah sibuk menyiapkan ta’jil. Masjid kampungku selalu penuh orang yang akan buka puasa bersama. Aku dan Mei mulai membagi makanan. Lumayan, hari ini ada yang memberi nasi bungkus. Berarti tidak hanya makanan ringan, tapi mereka yang berbuka puasa juga akan mendapat nasi bungkus.
            Semua telah duduk rapi di tempatnya masing-masing, sambil mendengarkan kultum dari pengurus masjid. Mei masih mondar-mandir menyiapkan teh hangat. Sementara aku terus saja mengarahkan pandanganku di pintu masjid. Siapa tahu Laila, gadis kecil itu datang.
            Adzan Maghrib berkumandang. Setelah berdoa, semua lahap menyantap ta’jil. Aku masih saja memandang pintu masjid sambil menyeruput teh hangat.
            “Laila!” teriakku saat melihat gadis yang ada dalam mimpiku itu tiba-tiba muncul dari balik gerbang masjid. Untung orang-orang sedang menikmati hidangan sehingga tidak memperhatikanku.
            “Laila? Kamu Laila, kan?” tanyaku mendekati gadis itu. Kuambil jarak agar aku bisa lari kalau-kalau dia memukulku seperti mimpiku semalam.
            “Sudah buka puasa?” Gadis kecil itu menggeleng. Segera ku beranjak hendak mengambil air, tiba-tiba tangan kecilnya menarik tanganku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Dia menarik tanganku sambil berlari. Aku hanya mengikutinya. Dia semakin kencang, aku terengah-engah, berputar-putar mengelilingi masjid.
            “Tunggu!” Aku tidak kuat lari lagi, Laila,” teriakku. 
            Sampai di suatu gubuk karton, Laila berhenti.
            “Bagaimana kakak bisa makan sampai kekenyangan, sementara di sini aku sangat kelaparan?” suaranya lirih.
            Aku menghela nafas. Ya..bagaimana bisa terjadi? Tanyaku dalam hati. Bukankah di sekitar masjid ini masih banyak orang yang kelaparan, tapi aku tidak pernah mengindahkannya?
            Laila membawaku masuk ke dalam. Aku harus menunduk masuk gubuk karton itu. Di dalam ada seorang anak kecil dan seorang nenek meringkuk memegangi perutnya. Mengapa aku tidak pernah pedulikan mereka. Tangan-tangan mereka mulai mendekatiku, menengadah, meminta. Makin dekat, semakin dekat….aku berteriak. Sebuah tamparan halus mendarat di pipiku.
            “Aya, kamu kebanyakan tidur. Mimpi seram ya? sampai teriak-teriak. Bangun dong,, jangan lemas, Duh masih sore sudah tidur. Ta’jil sudah datang tuh, tolong siapin piring dan gelas,” ujar Mei.
            “Mei, nanti aku siapin. Pokoknya beres. Tapi aku mau jalan-jalan dulu, ya, biar enggak  ngantuk,” ujarku.
            “Jangan pulang loh, enggak ada yang bantu nih,” ujar Mei.
            Aku mengangguk. Segera kukelilingi daerah sekitar masjid. Aku memang penduduk baru di sini sehingga belum begitu mengenal tetangga sekitar.
            Tiba-tiba wajah Laila tampak dari kejauhan. Kucubit tanganku, siapa tahu ini mimpi, seperti yang baru saja kualami. Sakit. Berarti bukan mimpi. Buru-buru kuhampiri dia. Kugandeng tangan kecilnya.
            “Kamu Laila?” Dia mengangguk.
            “Kamu tinggal bersama nenek dan adikmu, kan?” Dia lagi-lagi mengangguk.
            “Tunggu di sini,” Aku segera kembali ke masjid, mengambil ta’jil yang telah disiapkan Mei.
            “Mei, minta 3 bungkus, Darurat, nih,” kataku.
            “Cepat balik!” teriaknya.
            Laila masih menunggu. Kuhampiri dia. Dia menunjuk gang kecil di belakang masjid. Kuikuti langkahnya sampai di suatu tempat, persis seperti mimpiku. Ah, benar, ada dua orang yang nampak kelaparan di sana. Aku menangis, mengapa aku tidak pernah melihatnya? Wajah mereka berbinar melihat nasi bungkus yang ada dihadapannya. Laila tersenyum padaku.
            “Terima kasih,” suaranya lirih.
            Suara adzan maghrib berkumandang. Mereka menyantap nasi dengan lahap. Aku segera beranjak, teringat janjiku pada Mei.
            Ah, Laila. Ternyata kau memang hadir dalam mimpiku untuk menyadarkanku, karena masih banyak Laila Laila lain yang tidak kupedulikan.
***


Selasa, 25 Oktober 2011

Ponpes Istighfar


Preman Juga Manusia
coretan hartari


           
Lazimnya, sebuah pondok pesantren akan diwarnai dengan hilir mudik santri belajar, lantunan ayat suci dan aktivitas lainnya, Namun lain halnya di Pondok Pesantren Istighfar. Ada pemandangan “unik”, beberapa pria berambut panjang/ gondrong, berpakaian hitam, malah sebagian ada yang bertato. Pondok pesantren ini memang unik karena santrinya adalah para preman insyaf yang berniat untuk menata diri kembali. Maka diibaratkan tahap metamorfosis, ponpes ini adalah kepompong, bentuk peralihan ulat menuju kupu-kupu. Karena tak selamanya ulat hidup dalam wujud yang buruk, suatu saat kelak setelah melewati kepompong, akan menjadi kupu-kupu yang mampu terbang tinggi dengan sayapnya yang indah. Dan dengan hidayah Allah tak selamanya preman berkubang dalam lumpur kejahatan, suatu saat dia akan sadar, untuk meniti jalan yang benar.

From Preman to Beriman
            Adalah Muhammad Kustanto (Gus Tanto), pria kelahiran Semarang 43 tahun lalu yang berkeinginan merubah image tempat tinggalnya yang terkenal sebagai “kawasan hitam”. Sebagian besar warga Semarang mengenal daerah Purwosari sebagai ‘sarang penyamun’, maka bergelut dan bersinggungan langsung dengan kehidupan preman dengan segala aktivitasnya adalah menu harian yang dijalani pria berambut panjang ini.
            Ibarat sebuah mimpi yang harus diwujudkan, maka setelah melalui permenungan dan perjalanan yang tidak sebentar, Gus Tanto berhasil merealisasi keinginan mulia untuk membangun pondok bagi mereka yang berkubang dalam dunia hitam
            “Pondok adalah tempat berkumpul,” jelas Gus Tanto. Dengan berdirinya ponpes ini, diharapkan para preman yang berniat meniti ke jalan kebenaran bisa menjadikan tempat ini  sebagai tempat untuk berkumpul, sebagai tempat persinggahan, sebuah tempat untuk memulai jalan guna mendekatkan diri pada Sang Khaliq dan sedikit demi sedikit mulai meninggalkan dunia preman yang digelutinya.
            Sebagai pendiri ponpes, bapak berputra tiga ini tidak pernah menggurui para preman. “Cukup memberi contoh, tidak perlu banyak ngomel tapi harus banyak ngamal,” lanjutnya. Cara ini dipandang lebih ampuh dalam menyadarkan para preman.
            Kini ratusan santri bergabung di ponpes ini dan pada perkembangannya tidak hanya para preman, tapi masyarakat sekitar termasuk ibu-ibu dan anak-anak juga ikut dalam kegiatan yang diadakan Ponpes Istighfar.
            Tidak berlebihan jika ponpes ini dikatakan merubah preman menjadi beriman.



Yang Unik di Ponpes Istighfar
            Bangunan yang berdiri tahun 2005 dan berlokasi di Jl Purwosari Perbalan I / 755 D Kelurahan Purwosari tampak “lain” dibandingkan bangunan sekitarnya.
            Patung naga menghias dinding luar. Naga melambangkan keangkaramurkaan, dan sifat ini harus dilenyapkan. “Ponpes ini didirikan sebagai salah satu ikhtiar untuk mengatasi keangkaramurkaan,” ujar Gus Tanto. Patung naga mengapit lafadz “Inna sholaati wa nusuki wamah yaaya wa mamaati Lillahi rabbil ‘aalamiin”, dimaksudkan bahwa sesungguhnya segala tindakan, hidup dan mati manusia hanya diniatkan karena Allah.
            Memasuki ruangan dalam, di pintu mushola terdapat tulisan Wartel 0.42443. Wartel dimaksudkan sebagai media komunikasi antara hamba dan Sang Khaliq. Deret angka dibelakangnya dimaknai : 0 berarti sebelum berkomunikasi dengan Allah maka manusia harus mengosongkan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi, sedang angka 4,2,4,4,3 adalah jumlah rakaat dari masing-masing sholat 5 waktu.
            Lampu disko terletak di dalam mushola, Gus Tanto menjelaskan bahwa lampu yang memancarkan sinar warna-warni diibaratkan sebagai kehidupan dunia yang glamour, namun bila dicermati lampu tersebut bersumber pada satu warna yaitu putih. Jika melihat kehidupan dunia hanya dengan kacamata fisik, maka berakibat ‘silau dunia’.
            Lantai ponpes juga sarat makna, karena tersusun dari ubin yang retak dan berwarna-warni. “Para preman yang datang ke pondok adalah orang-orang yang retak tatanan hidupnya, namun mereka masih bisa diajak kembali dan hidup lebih bermanfaat lagi jika diperbaiki dengan ditata dan dibina,” jelas Gus Tanto.
            Masih ada yang unik dan istimewa di ponpes ini, di ruangan lain terdapat kursi berukir khusus dengan ornament yang menggambarkan tahap perubahan dari ulat – kepompong – kupu-kupu.
Keunikan santrinya yang memilih menjadi seorang vegetarian dengan alasan selain menyehatkan, juga sebagai penghargaan atas jiwa makhluk hidup lainnya. Para santri juga tidak menetap di pondok atau disebut dengan santri kalong. Mereka datang ke pondok jika ada kegiatan dan berkonsultasi dengan dengan Gus Tanto. Selain itu, mereka memilih mengenakan busana hitam-hitam dan sebagian lagi membiarkan rambutnya tumbuh memanjang,            karena penampilan memang bukan segalanya, yang terpenting adalah hati dan niatan untuk berubah.


Metode Tombo Ati
            Lagu ‘tombo ati’ yang kerap dilantunkan Gus Tanto saat masa kanak-kanak coba diterapkan dalam menyadarkan para preman. Di pondok ini tidak mengajarkan disiplin ilmu agama seperti fiqih, tafsir dan lainnya dan pelajaran yang diberikan tidak muluk-muluk.
            Pendekatan dengan cara sederhana ini dianggap manjur . Para santri diajak untuk menegakkan sholat wajib, sholat tahajjud dan berpuasa sunnah. “puasa merupakan upaya untuk pengendalian diri, mengendalikan nafsu atau keinginan yang berpengaruh besar pada kesehatan jasmani dan ruhani. Dengan berpuasa kita dapat merasakan ngeleh (lapar) agar dapat memaknai rasa wareg  (kenyang)” Pelan tapi pasti, metode penyadaran ini ternyata bisa mengurangi aksi premanisme di lingkungan tersebut dan berdampak pada keamanan masyarakat.
            Gus Tanto yang juga dikenal dengan Kyai Tombo Ati ini menambahkan, dirinya  belajar untuk menelusuri sebab musabab para preman berbuat anarkis. Kaum yang ter’marginal’kan ini tidak untuk dijauhi melainkan diajak untuk kembali, karena menjadi preman bukan pilihan namun situasi menyeret mereka ke jalur preman.
 Tombo Ati juga diartikan sebagai usaha membangun jiwa untuk selalu berfikir positif, tidak menggantungkan hidup pada siapapun selain kepada Allah SWT.

Ponpes dan Masyarakat
            Sejalan dengan waktu, pondok pesantren ini tidak hanya membina para preman, namun kegiatannya banyak melibatkan anak-anak, ibu-ibu dan masyarakat di sekitarnya.
            Selepas maghrib sampai menjelang Isya’ digunakan anak-anak untuk belajar membaca Al Quran. Ba’da Isya’ dilanjutkan tadarus Al Qur’an oleh sebagian santri. Sedangkan pengajian ibu-ibu dilaksanakan pada Ahad malam, dan seminggu sekali digelar acara mujahadah. Kegiatan rutin lainnya adalah donor darah dan pada Idul Adha ponpes juga membagikan daging qurban.
            Seluruh kegiatan yang diadakan ponpes tidak dipungut biaya sepeserpun. Biaya operasional berasal dari usaha travel dan usaha lainnya yang dikelola oleh ponpes dibawah Yayasan Syifa’ur Rohmah dengan mengkaryakan para santri.
            Tidak bisa dipungkiri, Pondok Pesantren Istighfar telah membawa angin segar bagi para preman yang insyaf dan suasana kondusif di lingkungan masyarakat, berusaha menghapus jejak kawasan hitam menjadi daerah aman. Menghidupkan dan memaknai hidup dengan saling menasehati dalam kesabaran.
***


Senin, 24 Oktober 2011

Ranjang Pengantin Nenek


Ranjang Pengantin Nenek
(Pemenang Penghargaan Sayembara Mengarang Cerpen Femina – 2009
 Femina No.3/XXXVIII/2010)
Cerpen Hartari

          Ranjang pengantin milik Nenek layaknya benda keramat. Benda itu diwariskan turun temurun. Bude Windu yang pertama kali memakainya setelah Nenek, sampai Lila lahir. Kemudian Mamaku mendapat giliran berikutnya saat beliau menikah dengan Ayah. Karena hanya mereka berdua anaknya, maka dipastikan bahwa giliran selanjutnya akan jatuh pada cucu perempuan Nenek, jika kelak menikah, dan mungkin saja bila ranjang itu masih kuat, maka bisa jadi sampai keturunan kesekian.
            “Ini perintah Nenek, tidak boleh dibantah.” jawab Mama ketika kutanyakan alasan mengapa harus ranjang pengantin Nenek yang dipakai untuk mengawali kehidupan berumah tangga, “Agar kehidupan rumah tanggamu rukun, tentram, tidak ada pertengkaran, seperti kakek-nenekmu,” lanjutnya
            Tidak ada yang istimewa dari ranjang itu. Kuno tepatnya. Tetapi, bahannya kuat, entah sudah berapa umurnya, mungkin sama dengan umur perkawinan Nenek dan Kakek atau jauh lebih tua. Saat hendak dipakai Bude, ranjang itu dikarantina selama sebulan. Tak boleh ditiduri siapapun. Demikian juga saat mamaku hendak memulai hidup berumah tangga, ranjang itu tak boleh dipakai hampir sebulan, Kata Mama,”Sedang direnovasi.” Setelah itu, tidak ada larangan. “Karantina ranjang hanya berlaku jika hendak dipakai calon pengantin.” Begitu kira-kira penjelasan Mama.
Ranjang tua itu beberapa kali berganti cat agar selalu tampak baru. Berkali-kali ganti kelambu dan…… pernah sekali dilas, karena lempeng besi penyangganya patah.
            Patah ? Aneh benar kata-kata itu. Ranjang pengantin Nenek terlalu kuat untuk rusak, meskipun ukurannya kecil dan termakan usia. Bahkan masih kuat menahan berat beban saat kami berempat – Bude dengan Mbak Lila, sepupuku, serta Mama dan aku  –       saat berbagi cerita di atas ranjang tua itu. Jarang sekali kesempatan itu ada karena jarak dan waktu tak pernah kompromi dengan rindu.
 Menahan empat orang yang tidur berdesakan saja, ranjang itu terlalu kekar, mengapa tiba-tiba lempeng besi itu putus ketika menahan beban seorang Lila, sepupuku. Tubuh Lila kecil, tak sampai 45 kg.
            Nenek kaget begitu mendengar ranjang pengantinnya rusak. Kemarahan itu tak bisa dibendung. Selama ini, selama dipakai Nenek, Bude, dan Mama tak pernah  ada kerusakan sedikitpun dan ini adalah kali pertama terjadi.
            Sidang digelar. Tak ada prolog, Bude Windu langsung dicecar dengan sekian pertanyaan. Bude tak bisa menjawab karena bukan beliau yang menempatinya saat kejadian itu.
            Pandangan Nenek beralih pada Lila. Sepupuku itu tak berani mendongak. Jelas dia pelakunya.
            “Lila !” suara Nenek kasar, kemarahannya tak tertahan.
            Lila memandang Nenek sebentar, lalu menunduk. Kami, yang hari itu khusus diundang di persidangan tak resmi ini telah menduga, Lila yang menyebabkan lempeng besi penahan ranjang itu patah.
            “Saya tidak merusaknya,” jawabnya, pelan.
            “Kerempeng memang tak bisa memutuskan lempeng itu,” bentak Nenek.
            “Tapi memang bukan saya yang merusaknya.”
            Ah..badan Lila kecil, Bahkan jika  dia berlonjak-lonjak diatasnya pun, ranjang itu hanya bergoyang sebentar.
            Semua diam. Ternyata hal ini bukan masalah kecil bagi Nenek, bahkan terlalu besar untuk orang kuno dan konservatif seperti beliau. Ini adalah sebuah kehormatan yang tak bisa terganti oleh apa pun. Pandangan beliau tak bergeser dari tubuh Lila, seperti siap menguliti kesalahan cucu pertamanya. Kami ciut dihadapan wibawa Nenek.
Tiba-tiba Nenek beranjak dari tempat duduknya, menarik lengan kurus Lila dan…astaga…menggebuk perut Lila tak berampun. Lila pingsan, darah segar mengalir di kakinya. Kami gemetar, tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sungguh Nenek sangat kejam, menghakimi sendiri cucu pertamanya tanpa mendengar penjelasan rinci.
            Untuk beberapa lama ranjang itu tak dipakai. Selembar seprai, dua bantal dan dua guling adalah para penghuni tetapnya. Sementara Lila shock kehilangan janinnya. Janin? Yah… setelah peristiwa itu, baru kami tahu bahwa Lila hamil di luar nikah. Dan tragisnya, tindakan itu dilakukan bukan di hotel atau di tempat ‘aman’ lain tapi… diatas ranjang pengantin Nenek !
**
Nenek memang kolot. Sampai peristwa yang dialami Lila membuat Nenek semakin tak kompromi dengan lelaki yang menjadi pacar cucunya. Semua diatur. Apel diatur, duduk diatur, keluar rumah diatur  dan aku harus rela menerima aturan itu, karena tinggal aku cucu perempuan yang dipercayainya setelah Lila mengkhianati Nenek.
            Lima tahun sudah sejak peristiwa itu, dan setelah lempeng besi itu diperbaiki, praktis hanya Nenek yang menidurinya. Usai peristiwa Lila, Nenek langsung mengambil benda antik miliknya. Kesucian ranjang itu pernah ternoda dan dia tak ingin itu terjadi padaku, cucu yang akan memakainya kelak.
            “Hati-hati,” nasehat Mama saat aku mulai berpacaran dengan Mas Tomi.
            Nasehat Mama, peristiwa Lila dan ranjang pengantin Nenek selalu membayang. Aku tak ingin itu terjadi padaku. Ranjang itu terlalu jujur untuk sebuah tindakan ceroboh. Bisa saja aku melakukan perbuatan melanggar norma itu di tempat lain, tapi ranjang itu adalah sebuah indikasi kejujuran, indikasi kesucian si pemakai. Aku tak mau. Aku tak akan mengawali ikatan suci dengan perbuatan kotor, meski atas nama cinta. Tak akan pernah.
            “Mama tak tahu apa yang kau perbuat diluar sana, tapi…kau tahu sendiri apa yang pernah terjadi pada Lila,” lanjut Mama.
            Dan syukurlah aku bisa memegang amanah itu. Segalanya berjalan sesuai dengan keinginan semua orang. Keinginanku, keluargaku, keluarga Mas Tomi, dan terutama Nenek. Aku berhasil menjaga kesucianku sampai kuntum itu dipetik oleh Mas Tomi usai akad nikah.
            Beberapa hari usai peristiwa sakral dalam hidupku, kulihat Nenek masuk ke kamarku. Dilihatnya setiap detail ranjang pengantin miliknya. Tak ada kerusakan, beliau tersenyum puas. Bukan masalah kerusakan yang dikhawatirkannya, tapi moral cucunya yang selalu dipikirkannya.
            “Zaman edan, kamu jangan ikut edan, “ katanya suatu hari, “Wanita itu selalu dipandang dari kesuciannya. Dia harus memelihara kesuciannya sampai kapanpun. Sehebat apapun kalau sudah tidak suci berarti moralnya telah rusak !”
**
            Kini benda keramat itu masih berdiri kaku di ruang tidur kami. Aku hanya mampu tidur di atas kasur empuknya semalam. Sejujurnya, rasa khawatir selalu merasukiku. Sejak peristiwa Lila memang aku tak berani menjamah bahkan sekedar mendekat, kalau bukan suatu keharusan tidur di ranjang itu di malam pertama, seperti yang dilakukan Nenek pada Bude dan mamaku.  Mita yang lahir dari rahimku tak pernah kutidurkan di atasnya. Rasa tak nyaman makin menyesaki. Rasa yang sebenarnya tak perlu untuk dibesar-besarkan. Dan rasa itu semakin gemuruh. Aku akan mengembalikannya pada Nenek, dan aku akan merasa bebas.
Ranjang itu tetap berdiri dengan sombong. Dia seperti kertas lakmus yang mengindikasikan asam dan basa meski dengan indra telanjang. Tak perlu rinci panjang untuk mengatakan sebuah kejujuran. Dan kini aku berada di ujung ketakutan…
            “Tidak perlu dikembalikan, Mita yang akan memakainya nanti,” kata Nenek saat kujelaskan keinginanku mengembalikan ranjang suci itu.
            “Masih lama, kukembalikan dulu. Kalau Mita mau nikah, baru saya ambil.”
            “Biarlah di rumahmu. Kalau kau tak mau memakainya tak mengapa, tidak akan rusak meski tidak dipakai. Seprainya saja yang diganti, biar tampak bersih.”
            Habis kata. Jelas-jelas Nenek telah mewariskannya untuk Mita dan tak ingin untuk dikembalikan, sampai ranjang itu benar-benar rusak termakan usia.
***
            Kupandangi    sebuah benda yang amat diagungkan Nenek. Kuamati tiap incinya. Tak ada secuilpun jimat yang menempel. Tulisan-tulisan asing juga tak ada, tapi mengapa ranjang itu seolah bisa berkata-kata ? Rasa rindu tiba-tiba menyelimutiku. Aku rindu tidur di atas kasur empuknya seperti dua tahun lalu ketika aku secara resmi tidur bersanding dengan suamiku. Menyulam mimpi indah bersamanya, meski hanya semalam.
            Pelan…kutarik selimut, merebahkan tubuhku dan tubuh Mita, anakku. di atas kenyamanan yang tiba-tiba saja kurindukan.
Kami terlelap ….
**
            Jantungku berdegup kencang, Mita tiba-tiba meronta, menangis sejadi-jadinya. Mas Tomi masuk  dan berusaha menenangkan Mita, Nenek yang semalam baru saja datang dari desa dan menginap di rumahku urung menuntaskan kantuknya mendengar jerit Mita. Sementara aku tak bergerak, terpaku di atas ranjang Nenek.
            Bunyi lempeng patah….. satu, dua, tiga,…satu persatu lempeng penyangga patah tak kuasa menahan beban tubuhku yang berada di atasnya. Kelambu putih yang membungkus keanggunan ranjang suci itu luruh. Nenek terpaku di balik pintu. Mas Tomi tak berkedip. Tubuhku rubuh bersama kesucian ranjang pengantin Nenek.
            Kini aku seperti pesakitan di depan hakim yang tak lain nenekku sendiri. Di ujung sana dua orang saksi, Mas Tomi dan si kecil Mita, membisu. Tak perlu banyak tanya. Aku mengakui semuanya tanpa didakwa. Aku telah berkhianat. Dan Mita adalah buah pengkhianatanku, ketika Mas Tomi bertugas ke luar kota untuk beberapa lama. Meski bukan di atas ranjang Nenek, tapi ranjang pengantin Nenek telah mencium aroma pengkhiatan…!
           
***

Aku Ingin Patah Hati

AKU INGIN PATAH HATI
(dimuat Gradasi Edisi II/No.11/April 2009)
Cerpen Hartari

            Sudah kurencanakan, jika kelak ku patah hati, akan kutulis semua perasaan yang timbul karenanya, semua keanehan yang menyelimutinya, semua polah tingkah yang menyelimutinya.  Maka di halaman pertama buku yang telah kuberi sampul pink dengan gambar hati bertebaran di mana-mana, kutulis : “Aku Ingin Patah Hati, dan Inilah Kisahku, Kisah Orang yang Sedang Patah Hati.”  Ah judul yang sangat panjang, tetapi indah…..!
            Dan kini aku benar-benar ingin patah hati.  Jangan kau tertawa dulu ketika membacanya, atau jangan dulu kau mencibir keinginan aneh bin ajaib ini. Karena keinginanku ini bukan tanpa sebab!  Keinginanku ini telah kupendam lama, setelah melihat dan  mendengar sendiri beberapa kisah. Tentu saja kisah tentang seorang yang patah hati. Begitu aneh, bahkan sangat aneh !
            Betapa tidak ? patah hati karena cinta membuat beberapa orang yang berada di sekelilingku menjadi orang linglung sementara, pemarah, atau cengeng, tak punya semangat, dan hal-hal yang tak masuk akal. Patah hati memang aneh!
            Kuawali ketertarikanku akan patah hati dengan kisah pertama yang membawaku ingin merasakan bagaimana rasanya patah hati, dan itu terjadi pada kakakku. Ceritanya sangat sederhana dan lazim. Begini, setelah berpacaran dua tahun dengan mbak Salya, akhirnya cinta itu putus juga. Pacaran jarak jauh SemarangSurabaya membuat keduanya jarang bertemu. Kakakku kuliah di Semarang, sedang Mbak Salya diterima di perguruan tinggi di Surabaya.
Tahun pertama, cinta itu masih bisa bertahan. Tahun berikutnya, karena alasan jarang bertemu dan alasan yang tak kuketahui jelas, cinta itu selesai sudah. Siapa yang memutuskan ? tentu saja mbak Salya, karena saat “keputusan” itu dibacakan, kakakku masih sempat meluncurkan kata kata yang sangat memelas. Begini bunyinya : “Tapi aku masih mencintamu…!”
Oh, indahnya….! Dan telepon di ujung sana ditutup. Kakakku menyeruduk, membanting tubuhnya di atas kasur. Sesaat kemudian wajahnya telah tersapu air mata. Dia menangis. Dan aku ? Aku tertawa terbahak-bahak begitu melihat pemandangan aneh itu. Tawaku terhenti saat kakak sulungku memberi ultimatum, “Awas ! kalau kau patah hati aku juga akan menertawakanmu!”
 Cep!
 Aku diam. Takut dengan ultimatum yang lebih cocok disebut ancaman. Ruangan sepi, hanya suara sesenggrukan kakakku yang terdengar. (Dalam hati aku berkata, jika kelak ku patah hati, aku tak akan menguras air mata). Oh, begitukah orang yang patah hati ? Keceriaaan yang dulunya selalu hinggap di setiap episode perjalananya tiba-tiba berubah menjadi hujan air mata tanpa mendung pada awalnya !
            Aku dilanda penasaran dengan kisah kakakku yang menjadi korban patah hati. Apa yang sebenarnya ada dalam pikiran dan perasaannya ? Sungguh aku sangat ingin cepet-cepat bisa merasakan patah hati.
**
            Kisah kedua tak kalah seru, membuat otakku yang encer matematika tiba-tiba tak berkutik dan pasrah mengantongi nilai kursi terbalik, hanya karena memikirkan orang yang patah hati. Siapa orang kedua ini ? Jani namanya.
            Jani, sahabatku, patah hati. Cintanya dengan mahasiswa teknik kimia yang kost di depan rumah sampai pada vonis akhir : P-U-T-U-S ! Apa sebab ? aku tak menanyakannya, takut menyinggung perasaan yang kini tengah dilanda lara. Disinyalir unsur-unsur cinta tak bersenyawa lagi. Mengapa ? Entahlah, hanya mereka berdua yang tahu.
            Kini rasa penasaranku makin bertambah. Bukan karena persenyawaan tak berkelanjutan, tapi akibat yang ditimbulkan senyawa cinta tak jadi tadi.  Tangis, itulah pemandangan pertama dan wajib yang kulihat seperti ketika kakakku putus cinta dulu. Bukan hanya tangis itu, tapi jumlah tisu yang telah dihabiskan untuk membendung air mata yang tumpah karenanya. Tercatat dua dos tisu dihabiskan untuk menyeka air mata Jani. Belum lagi gulungan tisu kloset untuk menyeka ingus hidung yang turut bersedih. Ah, patah hati memang aneh. (Dalam hati aku berkata, jika kelak ku patah hati dan dengan amat sangat terpaksa harus menangis, meski aku tak menginginkannya, maka aku akan membeli Kanebo saja, kain lap yang sering digunakan untuk mengelap motor atau mobil, karena daya serapnya yang efektif. Setelah itu dapat digunakan untuk mengelap kendaraan atau perabotan rumah!)
**
            Dan kisah ketiga ini melengkapi dua kisah sebelumnya yang membulatkan tekadku untuk secepat mungkin bisa patah hati.
            Kisah ketiga tentang Parti, sahabatku yang lain. Saat untuk kali pertama cinta bermekaran di hatinya, dia pernah berucap padaku, “Aku tak akan berpacaran lagi selain dengan Mas Hafis!”
            Siapa yang tak kenal dengan mas Hafis ? Cewek sekelurahan pasti sudah mengenalnya. Mas Hafis sosok yang sangat menyenangkan, mudah bergaul dan sayang dengan cewek. Tak ayal lagi ketika panah asmara tertancap di dada Parti yang tomboi itu, berubahlah Parti menjadi sosok yang beda. Sejak itu Parti selalu tampak girlie dan wangi. Aku iri melihat perubahan yang ada padanya, tapi…..itu hanya berlangsung setahun, karena perubahan berikutnya tak pernah ada yang menduganya.
            Singkat cerita, cinta Parti dan Hafis kandas karena Hafis kembali pada pacar lamanya, Ida. Parti terluka. Semboyan yang pernah terucap tak kan berpacaran selain dengan Hafis sampai detik ini masih dipegangnya. Tapi yang membuatku terheran-heran adalah tak ada mendung dalam dirinya, apalagi hujan air mata. Yang ada adalah sebuah perubahan yang menurutku pemberontakan yang menurutku tolol!
            Dulu Parti yang tomboi berubah menjadi girlie dan sekarang bukan saja kembali ke asal sebagai gadis yang  tomboy, tapi tubuhnya makin berotot seperti lelaki ! Memang setelah perjalanan cinta itu berakhir, Parti rutin berolah raga. Tapi aku tak tahu olah raga apa yang digelutinya. Belakangan kudengar dia berlatih angkat beban dan rajin-rajin menonjok sansak. Aneh ! (Dan dalam hati aku berkata, kelak ku patah hati, kan kubangun sebuah sarana olah raga untuk mereka yang patah hati. Siapa tahu banyak yang menjadi anggota karena bisa dijadikan sebagai sarana untuk melampiaskan kekesalan hatinya. Ehm… Cukup menghasilkan, bukan ? )
**
            “Kau masih waras, kan ?” tanya Rely ketika kukatakan keinginanku untuk patah hati.
            “Lah, masak orang gila bisa ingin patah hati ?” timpalku
            “Sakit rasanya, tahu ?”suaranya meninggi.
            “Justru sakit itu yang ingin kurasakan. Sensasi itu yang ingin kucoba! Dan setelah itu apa yang akan terjadi ? Itu yang akan kutulis. Indah pastinya,” kataku sambil menunjukkan buku bersampul pink dengan gambar hati.
            “Rasa itu tak pernah bisa dikata Ta, seandainya bisa maka tiap orang tak ingin patah hati karena putus cinta. Mereka akan mempertahankan cintanya sebisa mungkin sampai ke jenjang yang lebih pasti,” Rely mengguruiku.
            Aku mencibir. Oh, ya ? Kau tak tahu, Rel, betapa aku telah lama menginginkannya karena terinspirasi oleh cerita unik dibalik itu semua. Mungkin di luar ketiga cerita itu masih banyak cerita unik lainnya yang lebih mengharukan, menyayat-nyayat atau bahkan menggembirakan. Jadi keinginanku ini mungkin sebuah eksperimen untuk diriku sendiri.
            Rely menggeleng-gelengkan kepala, tampak tak mengerti dengan jalan pikiranku yang sangat tidak logis. Patah hati kok diinginkan, batinnya! Memang aku adalah orang yang suka bereksperimen aneh-aneh tapi tidak seaneh yang kuutarakan barusan. Rely menganggapku ‘kurang’ waras dalam hal ini. Maka ketika dia menempelkan jari telunjuknya ke dahi, aku hanya terkekeh. Dia mengataiku : “Sinting !”
            Biarlah dia mengataiku seperti itu, tapi aku tak sakit hati karenanya. Wajar kalau aku dianggap sinting. Karena baru kali ini ada orang yang ingin patah hati, dan itu aku orangnya. Jawara kelas yang nyentrik! Tapi biarpun keinginan aneh ini dianggapnya sinting, dia dengan senang hati mau membantuku.
“Apa langkah-langkah yang harus kukerjakan ?”tanyaku bersemangat. Aku benar-benar tak tahu langkah awal untuk bisa patah hati!
            Aku tahu Rely pernah bercerita bahwa dia pernah pacaran dan kandas (dan tentu saja patah hati). Tapi aku tak tahu dengan siapa dan bagaimana kejadiannya, karena dia baru sebulan ini berkenalan denganku di tempat kursus bahasa Inggris.
            “Berselingkuh dengan cowok sekolah lain,” idenya, “Buat sedemikian rupa sehingga cowokmu cemburu dan memutuskan cintanya.”
            Aku melongo, tak tahu harus menjawab apa.
            “Atau yang lebih aman, tak usah pacaran dengan cowok lain, tapi cuekin saja pacarmu, sampai akhirnya dia memutuskanmu,” imbuh Rely.
            Otakku kosong! Pikiranku tak nyambung begitu mendengar ceramah singkatnya yang berapi-api layaknya seorang motivator yang sedang memberi semangat pendengarnya.
            “Bagaimana? Setuju dengan ideku? Atau punya ide yang lebih gila lagi? tanyanya sambil memperhatikan rona wajahku yang berubah.   “Ta, kau sakit?”
            Aku menggeleng.
            “Kok tiba-tiba diam? Enggak setuju dengan ideku ? Ya udah, kita cari ide lain.”
            Aku tak tahu harus menjawab apa. Eksperimen pertamaku tak pernah berhasil, bahkan gagal sebelum dikerjakan
            “Kamu enggak lagi sakit, kan?” Rely makin penasaran
            “Rel, aku tak bisa,” jawabku.
            Ganti Rely yang kaget, “Kenapa ?”
            Bagaimana aku harus berselingkuh, atau cari cowok lain? Bahkan pacar saja aku belum pernah punya.
            “Tak bisa? Kenapa?”
            “Karena aku belum pernah mencinta. Bagaimana aku bisa putus cinta ? Dan bagaimana aku bisa patah hati karenanya?”
            “Kau belum punya pacar, Ta ?” Rely tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
            Aku menggeleng, “Bahkan belum pernah punya! Untuk sekedar naksir cowok pun aku belum pernah.”
            Rely tercengang, menarik nafas panjang.
 “Ada yang terlupa dalam dirimu Ta, yaitu cinta. Kalau kau ingin patah hati, maka kau harus mencinta.”
            Rely segera mengambil buku pink. Dibukanya halaman pertama yang telah kuberi judul, dan dibawahnya dia menulis judul dengan huruf besar-besar : “Dan Kuawali Langkahku dengan Mencinta”.
            “Cari pacar dulu sebanyak-banyaknya, baru patah hati !” sindirnya.
            Aku hanya terdiam. Ternyata, aku harus memulainya dengan cinta.
***