Selasa, 25 Oktober 2011

Ponpes Istighfar


Preman Juga Manusia
coretan hartari


           
Lazimnya, sebuah pondok pesantren akan diwarnai dengan hilir mudik santri belajar, lantunan ayat suci dan aktivitas lainnya, Namun lain halnya di Pondok Pesantren Istighfar. Ada pemandangan “unik”, beberapa pria berambut panjang/ gondrong, berpakaian hitam, malah sebagian ada yang bertato. Pondok pesantren ini memang unik karena santrinya adalah para preman insyaf yang berniat untuk menata diri kembali. Maka diibaratkan tahap metamorfosis, ponpes ini adalah kepompong, bentuk peralihan ulat menuju kupu-kupu. Karena tak selamanya ulat hidup dalam wujud yang buruk, suatu saat kelak setelah melewati kepompong, akan menjadi kupu-kupu yang mampu terbang tinggi dengan sayapnya yang indah. Dan dengan hidayah Allah tak selamanya preman berkubang dalam lumpur kejahatan, suatu saat dia akan sadar, untuk meniti jalan yang benar.

From Preman to Beriman
            Adalah Muhammad Kustanto (Gus Tanto), pria kelahiran Semarang 43 tahun lalu yang berkeinginan merubah image tempat tinggalnya yang terkenal sebagai “kawasan hitam”. Sebagian besar warga Semarang mengenal daerah Purwosari sebagai ‘sarang penyamun’, maka bergelut dan bersinggungan langsung dengan kehidupan preman dengan segala aktivitasnya adalah menu harian yang dijalani pria berambut panjang ini.
            Ibarat sebuah mimpi yang harus diwujudkan, maka setelah melalui permenungan dan perjalanan yang tidak sebentar, Gus Tanto berhasil merealisasi keinginan mulia untuk membangun pondok bagi mereka yang berkubang dalam dunia hitam
            “Pondok adalah tempat berkumpul,” jelas Gus Tanto. Dengan berdirinya ponpes ini, diharapkan para preman yang berniat meniti ke jalan kebenaran bisa menjadikan tempat ini  sebagai tempat untuk berkumpul, sebagai tempat persinggahan, sebuah tempat untuk memulai jalan guna mendekatkan diri pada Sang Khaliq dan sedikit demi sedikit mulai meninggalkan dunia preman yang digelutinya.
            Sebagai pendiri ponpes, bapak berputra tiga ini tidak pernah menggurui para preman. “Cukup memberi contoh, tidak perlu banyak ngomel tapi harus banyak ngamal,” lanjutnya. Cara ini dipandang lebih ampuh dalam menyadarkan para preman.
            Kini ratusan santri bergabung di ponpes ini dan pada perkembangannya tidak hanya para preman, tapi masyarakat sekitar termasuk ibu-ibu dan anak-anak juga ikut dalam kegiatan yang diadakan Ponpes Istighfar.
            Tidak berlebihan jika ponpes ini dikatakan merubah preman menjadi beriman.



Yang Unik di Ponpes Istighfar
            Bangunan yang berdiri tahun 2005 dan berlokasi di Jl Purwosari Perbalan I / 755 D Kelurahan Purwosari tampak “lain” dibandingkan bangunan sekitarnya.
            Patung naga menghias dinding luar. Naga melambangkan keangkaramurkaan, dan sifat ini harus dilenyapkan. “Ponpes ini didirikan sebagai salah satu ikhtiar untuk mengatasi keangkaramurkaan,” ujar Gus Tanto. Patung naga mengapit lafadz “Inna sholaati wa nusuki wamah yaaya wa mamaati Lillahi rabbil ‘aalamiin”, dimaksudkan bahwa sesungguhnya segala tindakan, hidup dan mati manusia hanya diniatkan karena Allah.
            Memasuki ruangan dalam, di pintu mushola terdapat tulisan Wartel 0.42443. Wartel dimaksudkan sebagai media komunikasi antara hamba dan Sang Khaliq. Deret angka dibelakangnya dimaknai : 0 berarti sebelum berkomunikasi dengan Allah maka manusia harus mengosongkan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi, sedang angka 4,2,4,4,3 adalah jumlah rakaat dari masing-masing sholat 5 waktu.
            Lampu disko terletak di dalam mushola, Gus Tanto menjelaskan bahwa lampu yang memancarkan sinar warna-warni diibaratkan sebagai kehidupan dunia yang glamour, namun bila dicermati lampu tersebut bersumber pada satu warna yaitu putih. Jika melihat kehidupan dunia hanya dengan kacamata fisik, maka berakibat ‘silau dunia’.
            Lantai ponpes juga sarat makna, karena tersusun dari ubin yang retak dan berwarna-warni. “Para preman yang datang ke pondok adalah orang-orang yang retak tatanan hidupnya, namun mereka masih bisa diajak kembali dan hidup lebih bermanfaat lagi jika diperbaiki dengan ditata dan dibina,” jelas Gus Tanto.
            Masih ada yang unik dan istimewa di ponpes ini, di ruangan lain terdapat kursi berukir khusus dengan ornament yang menggambarkan tahap perubahan dari ulat – kepompong – kupu-kupu.
Keunikan santrinya yang memilih menjadi seorang vegetarian dengan alasan selain menyehatkan, juga sebagai penghargaan atas jiwa makhluk hidup lainnya. Para santri juga tidak menetap di pondok atau disebut dengan santri kalong. Mereka datang ke pondok jika ada kegiatan dan berkonsultasi dengan dengan Gus Tanto. Selain itu, mereka memilih mengenakan busana hitam-hitam dan sebagian lagi membiarkan rambutnya tumbuh memanjang,            karena penampilan memang bukan segalanya, yang terpenting adalah hati dan niatan untuk berubah.


Metode Tombo Ati
            Lagu ‘tombo ati’ yang kerap dilantunkan Gus Tanto saat masa kanak-kanak coba diterapkan dalam menyadarkan para preman. Di pondok ini tidak mengajarkan disiplin ilmu agama seperti fiqih, tafsir dan lainnya dan pelajaran yang diberikan tidak muluk-muluk.
            Pendekatan dengan cara sederhana ini dianggap manjur . Para santri diajak untuk menegakkan sholat wajib, sholat tahajjud dan berpuasa sunnah. “puasa merupakan upaya untuk pengendalian diri, mengendalikan nafsu atau keinginan yang berpengaruh besar pada kesehatan jasmani dan ruhani. Dengan berpuasa kita dapat merasakan ngeleh (lapar) agar dapat memaknai rasa wareg  (kenyang)” Pelan tapi pasti, metode penyadaran ini ternyata bisa mengurangi aksi premanisme di lingkungan tersebut dan berdampak pada keamanan masyarakat.
            Gus Tanto yang juga dikenal dengan Kyai Tombo Ati ini menambahkan, dirinya  belajar untuk menelusuri sebab musabab para preman berbuat anarkis. Kaum yang ter’marginal’kan ini tidak untuk dijauhi melainkan diajak untuk kembali, karena menjadi preman bukan pilihan namun situasi menyeret mereka ke jalur preman.
 Tombo Ati juga diartikan sebagai usaha membangun jiwa untuk selalu berfikir positif, tidak menggantungkan hidup pada siapapun selain kepada Allah SWT.

Ponpes dan Masyarakat
            Sejalan dengan waktu, pondok pesantren ini tidak hanya membina para preman, namun kegiatannya banyak melibatkan anak-anak, ibu-ibu dan masyarakat di sekitarnya.
            Selepas maghrib sampai menjelang Isya’ digunakan anak-anak untuk belajar membaca Al Quran. Ba’da Isya’ dilanjutkan tadarus Al Qur’an oleh sebagian santri. Sedangkan pengajian ibu-ibu dilaksanakan pada Ahad malam, dan seminggu sekali digelar acara mujahadah. Kegiatan rutin lainnya adalah donor darah dan pada Idul Adha ponpes juga membagikan daging qurban.
            Seluruh kegiatan yang diadakan ponpes tidak dipungut biaya sepeserpun. Biaya operasional berasal dari usaha travel dan usaha lainnya yang dikelola oleh ponpes dibawah Yayasan Syifa’ur Rohmah dengan mengkaryakan para santri.
            Tidak bisa dipungkiri, Pondok Pesantren Istighfar telah membawa angin segar bagi para preman yang insyaf dan suasana kondusif di lingkungan masyarakat, berusaha menghapus jejak kawasan hitam menjadi daerah aman. Menghidupkan dan memaknai hidup dengan saling menasehati dalam kesabaran.
***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar